Pendekatan Agile dan NGO

Kurang lebih 10 tahun saya sudah bekerja di Non Government Organization (NGO). Ada yang menyebutnya sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Nirlaba (Non Profit Organization) atau Civil Society Organization (CSO). Banyak banget istilahnya 🙂 Intinya bidang saya bekerja bukan industri perdagang yang berorientasi pada keuntungan finansial lembaga. Selain itu sedikit-sedikit saya juga belajar dan tertarik dengan dunia teknologi informasi dan digital. Sekadar membuat website menggunakan wordpress dan alur manajemen proyek TI tahulah sedikit.  Desain grafis juga sedikit saya kuasai mulai dari membuat logo, desain banner, layout buku dan sekitarnya. Bidang IT dan desain menjadi sumber penghasilan kedua saya selama ini. 

Semuanya saya pelajari secara otodidak karena basik pengetahuan formal saya adalah Ekonomi Manajemen. Kombinasi hal-hal diatas membuat saya menjadi seorang generalis dibandingkan spesialis. Tidak ada keterampilan (skill) spesifik yang saya kuasai secara mendalam dan utuh. Namun dari pengalaman saya selama ini, keterampilan dan pengetahuan yang paling banyak diperlukan di berbagai bidang tersebut adalah Manajemen Proyek (Project Management). Apa itu manajemen proyek? Secara sederhana adalah pengelolaan sumberdaya untuk mencapai tujuan spesifik dalam rentan waktu terbatas. Kata kuncinya ada tahap mulai (starting) dan selesai (closing). Kapan-kapan kita ulas lebih dalam tentang Manajemen Proyek.

Manajemen proyek yang sedang saya pelajari belakang ini adalah Manajemen Proyek Agile, terjemahan dari Agile Project Management. Yee anak SMP juga tahu. Hehehe… Secara harfiah Agile berarti lincah. Pendekatan agile menitikberatkan pada kelincahan dan kecepatan dalam mewujudkan capaian.

Sebelum lebih jauh kita tengok sedikit sejarah pendekatan agile dalam manajemen proyek. Pada awal dekade 2000an, 17 orang software developer mengadakan sebuah pertemuan di Snowbird resort, Utah. Pertemuan tersebut mendiskusikan tentang metode development. Dari pertemuan tersebut, para software developer tersebut mendeklarasikan Agile Manifesto. Isi manifesto tersebut berbunyi :

“Kami menemukan cara yang lebih baik untuk mengembangkan perangkat lunak dengan melakukannya dan membantu orang lain untuk menggunakannya. Melalui usaha ini, kami telah dapat menghargai :

  • Individu dan interaksi lebih dari proses dan sarana perangkat lunak
  • Perangkat lunak yang bekerja lebih dari dokumentasi yang menyeluruh
  • Kolaborasi dengan klien lebih dari negosiasi kontrak
  • Tanggap terhadap perubahan lebih dari mengikuti rencana

Sumber: https://agilemanifesto.org/iso/id/manifesto.html

Seiring perjalanan waktu dan perkembangan teknologi 20 tahun belakangan sejak manifesto tersebut dibuat, pendekatan Agile menjadi tren dan diadopsi oleh banyak sektor lain di luar industri pengembangan perangkat lunak.

Hal ini dikarenakan pendekatan tersebut dirasa sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan industri yang berlomba dalam ketidakpastian. Dalam ketidakpastian dibutuhkan pendekatan yang lincah dan gesit dalam menghasilkan solusi serta memberikan ruang untuk kesalahan, adaptasi, dan pembelajaran.

Terdengar klise namun sering kali terlambat disadari karena adanya struktur yang kaku atau birokrasi yang panjang dalam merespon perubahan yang terjadi. Hal ini umum terjadi pada manajemen proyek tradisional atau waterfall. Ilustrasinya: amunisinya keburu habis, target belum kena karena ada perubahan dalam perjalanan mencapai target.

Agile Project Management adalah metodologi manajemen proyek yang mempunyai adaptabilitas tinggi terhadap perubahan yang terjadi pada setiap elemen-elemennya. Metode ini memecah sebuah proyek besar menjadi beberapa bagian proyek kecil yang akan diselesaikan secara berkala dan berlanjut (incremental) dan disampaikan kepada pemilik proyek. Proses tersebut akan berulang (iterasi) dalam kurun waktu 2-4 minggu yang sering disebut Sprint.

Ooo cuman gitu aja?!. Eit’s tunggu dulu. Saya pun berpikiran begitu sebelumnya. Setelah membaca dan mencari lebih banyak referensi akhirnya saya menemukan sedikit pencerahan.

Agile itu pada prinsipnya adalah mindset bukan proses. Metode dan praktiknya bisa macam-macam. Tengok kembali Agile Manifesto dengan 4 nilai diatas. Selama metode dan praktiknya bisa mencerminkan nilai-nilai tersebut, bisa dikatakan sudah menggunakan pendekatan agile.

Jika ditarik keluar bidang pengembangan perangkat lunak, misalnya di bidang NGO yang saya geluti, mungkin manifesto tersebut menjadi seperti ini: 

Kami menemukan cara yang lebih baik untuk melakukan perubahan sosial dengan melakukannya dan membantu orang lain melakukannya. Melalui misi ini, kami menghargai lebih:

  • Individu dan interaksi daripada proses dan teknologi
  • Solusi yang berdampak daripada rencana dan dokumen yang panjang
  • Kerja kolaboratif daripada tokoh juara.
  • Menanggapi perubahan daripada mengikuti dokumen rencana.

Weh terbaca keren dan menggugah bukan? Pertanyaan selanjutnya bagaimana kemudian menerapkan manifesto tersebut?

Sebagai sebuah mindset dan nilai agile penerapan pendekatan agile akan sangat tergantung kepada situasi dan ruang lingkupnya. Okay kalau begitu kita ganti pertanyaanya menjadi “Mengapa kita butuh pendekatan Agile?” 

Saya mencoba merefleksikan beberapa proyek yang pernah saya kerjakan. Kemudian saya bayangkan menggunakan pendekatan Agile sebagai mindset dan nilai dalam proyek tersebut. 

  1. Terbayang muncul ruang-ruang inovasi dan adaptasi dari situasi faktual di lapangan. Karena seringkali perencanaan yang dibuat berangkat dari asumsi-asumsi yang tidak relevan lagi di lapangan. Dengan pendekatan Agile, asumsi tersebut bisa segera diuji kemudian dilakukan revisi terhadap rencana proyek bahkan disaat awal proyek baru dimulai.
  2. Situasi di lapangan seringkali memberi peluang dan tantangan baru yang bisa mempengaruhi target capaian proyek. Dengan membagi proyek ke dalam proyek-proyek kecil, peluang dan tantangan yang ada bisa segera ditindaklanjuti.
  3. Tokoh atau aktor perubahan kadang kala merupakan penentu keberhasilan sebuah proyek, namun membangun kolaborasi antar pemangku kepentingan merupakan pondasi perubahan sosial jangka panjang. Kita sering melihat ketika tokoh perubahan pindah atau tidak aktif lagi, perubahan yang diharapkan kembali ketitik nol lagi.
  4. Perubahan merupakan sebuah kepastian. Mengakomodir perubahan dalam perencanaan akan memperlambat kerja karena akan selalu berkutat dengan rencana. Kapan geraknya kalau nyusun rencana terus?? Yup inilah mengapa diperlukan proses incremental dalam waktu yang sangat pendek dalam rentang proyek. Misal proyek 1 tahun dibuat capaian bulanan atau 2 mingguan.

Segitu dulu, baru dikit belajarnya. Saya lanjut belajar lagi ya 🙂

Leave a Reply