Menghadapi Bullying

Beberapa waktu yang lalu Galang (5 tahun) kami daftarkan untuk mengikuti kelompok bermain (kids club) di daerah seputar Canggu. Kami melihat suasana tempat bermainnya sangat baik. Perpaduan indoor dan outdoor yang smemang didesain khusus untuk arena bermain dan belajar anak-anak.

Galang mengikuti kelas bermain 3x pertemuan per minggu. Kami memilih hari Senin,Rabu, dan Jumat. Kadang juga bisa berganti hari jika ada kegiatan lain atau halangan. Saya dan Rara bergantian mengantarnya di pagi hari dan jam sekitar jam 1 siang akan dijemput oleh kakeknya.

Tujuan saya dan Rara mengikutkan Galang kelas bermain tersebut awalnya untuk mengurangi intensitas Galalng menonton Youtube atau bermain HP di rumah. Jadi ada kegiatan lain yang dia kerjakan disamping kami ingin melatih daya adaptasinya terhadap lingkungan baru, kemampuan bersosialisasinya, kretifitas dan pemahamannya akan konsekuensi.

Hal yang menarik, Galang mendapat perlakuan yang kasar dari kawan sekelasnya. Sebut saja Ed, anak umur 5 tahun juga yang ukuran badannya lebih besar dari Galang. Ed suka mengintimidasi bahkan kasar kepada anak-anak lainnya. Saya sempat beberapa kali memperhatikan tingkah laku Ed. Kalau tidak salah ingat pada pertemuan kelas ke 2, si Ed memeluk Galang dengan kasar sambil memukul-mukul punggung Galang. Saya yang melihat itu secara spontan memelototi si Ed sambil menghardik “Ed Jangan Kasar!” Ed kemudian berlari sambil tertawa-tawa.

Wah, namanya juga anak-anak ya, mungkin maksudnya hanya bercanda aau bermain. Saya kemudian berpesan kepada Galang jika Ed bermain dengan kasar, katakan Galang tidak suka dan pergi menghidar atau bermain menjauh. Saya selalu berpesan kepada Galang untuk tidak melakukan kekerasan atau membalas kekerasan. Sepertinya nasehat yang kurang tepat untuk anak 5 tahun. Hehehe…

Sampai suatu ketika, Rara menemukan bekas merah di punggung Galang saat akan dimandikan. Ketika ditanya, Galang bercerita jika dia di gigit Ed saat bermain. Wahhh sudah keterlaluan pikir saya. Kami pun mengadukan hal tersebut kepada Guru yang mengajar di kelas bermain tersebut. Kami berpesan agar lebih mengawasi Ed yang sering kasar dalam bermain dan ‘membahayakan’ anak-anak lainnya. Guru pendamping tersebut mengiyakan dan berjanji akan lebih mengawasi anak-anak saat bermain.

Yang menjadi tantangan adalah kebetulan si Ed adalah anak pemilik tempat bermain tersebut. Jeng jonggg… hehehe.. saya langusng membayangkan dilema dan beratnya menjadi Guru pendamping tersebut.

Akhirnya setelah 2 bulan (24x pertemuan) kami memutuskan untuk tidak lagi mengikutkan Galang di kelompok bermain di sana. Beberapa pertimbangan kami:

  1. Peristiwa bullying seperti cerita diatas,
  2. Laporan perkembangan dan aktifitas anak yang tidak diberikan oleh guru pendampingnya. Saat pendaftaran saya dijanjikan akan diberikan laporan bulanan. Saya meminta khusus terkait dengan kemampuan adaptasi, sosialisasi, dan kreatifitas. Karena itulah tujuan saya mengikutkan Galang kelas bermain.
  3. Biaya bulanan sekolah yang naik sekitar 30%.
  4. Rencananya segera agan pindah ke Denpasar, jadi mau sekalian nyari kelompok bermain di Denpasar aja 🙂

Dari pengalaman itu, saya sedikit belajar bagaimana menghadapi bullying pada anak.

Yang pertama siapkan mental anak. Saya berusaha menanyakan dan memancing Galang bercerita tentang aktifitasnya selama di sekolah. Bermain apa saja, dengan siapa, dan bagaimana perasaannya. Saya hanya memastikan Galang tidak takut dan trauma untuk datang ke sekolah. Syukurnya sejauh ini saya rasa hal itu tidak terjadi. Selain si Ed anak-anak lain di kelas tersebut bisa bermain dengan ‘normal’ dan menerima Galang dengan baik.

Yang kedua mengarahkan tindakan yang harus diambil anak. Saya sering berpesan kepada Galang ketika ada temannya yang bermain dengan kasar atau Galang tidak suka untuk mengatakan langsung kepada temannya itu dan menghindar atau menjauh. Jika temannya masih melakukan itu, saya minta Galang menyampaikan kepada guru pendampingnya.

Yang ketiga membangun sistem pendukung. Seperti kejadian Galang saat digigit sampai biru dipunggungnya, hal itu segera kami laporkan kepada guru pendampingnya. Agar pengawasannya lebih ditingkatkan kepada anak-anak dan mencegah hal tersebut terulang atau menimpa anak lainnya.

Mungkin akan ada orang tua yang beranggapan, ah itu biasa, namanya juga anak-anak kan biasa bermain, musuhan, berantem, nanti juga baikan. Bagi saya pun itu hal yang biasa dan wajar, tugas kitalah sebagai orang tua untuk mengarahkan agar hal biasa itu tidak menjadi kebiasaan sampai mereka dewasa. 🙂

3 Comments

Leave a Reply